Hukum Menikahi Wanita Yang Pernah Berzina ML Di Luar Nikah dengan Kekasihnya
Isteriku Pernah Berzina
Pertanyaan :
Istri saya mengakui bahwa dia pernah berzina
sebelum nikah, apa yg saya harus lakukan ustad ? Saya sakit setelah
mendengar kabar ini.
Apakah saya berhak mengambil mahar saya karena di akad nikah tertulis bahwa dia perawan tpi ternyata tidak …mohon jawabannya ustad.
Apakah saya berhak mengambil mahar saya karena di akad nikah tertulis bahwa dia perawan tpi ternyata tidak …mohon jawabannya ustad.
Jawaban:
Wa alaikumus salam wa rahmatullah
Pertama, islam memotivasi kepada siapapun yang
pernah melakukan dosa terkait dengan hak Allah, agar merahasiakan dosa
itu dan dia selesaikan antara dia dengan Allah. Dia bertaubat menyesali
perbuatannya, tanpa harus menceritakan dosanya kepada siapapun. Termasuk
kepada manusia terdekatnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehatkan,
مَنْ أَصَابَ مِنْ هَذِهِ الْقَاذُورَاتِ شَيْئًا فَلْيَسْتَتِرْ بِسِتْرِ اللَّهِ
“Siapa yang tertimpa musibah maksiat dengan
melakukan perbuatan semacam ini (perbuatan zina), hendaknya dia
menyembunyikannya, dengan kerahasiaan yang Allah berikan.” (HR. Malik dalam Al-Muwatha’, 3048 dan al-Baihaqi dalam Sunan as-Sughra, 2719).
Karena yang lebih penting dalam pelanggaran ini,
bagaimana dia segera bertaubat dan memperbaiki diri, tanpa harus
mempermalukan dirinya di hadapan orang lain. karena ini justru menjadi
masalah baru.
Imam Ibnu Baz rahimahullah pernah
ditanya tentang suami yang menikahi gadis. Di malam pertama, ternyata
suami merasa istrinya tidak perawan. Salah satu bagian penjelasan
beliau,
فإذا ادَّعت أنَّها زالت البكارة في أمر غير
الفاحشة : فلا حرج عليه ، أو بالفاحشة ولكنها ذكرت له أنها مغصوبة ومكرهة :
فإن هذا لا يضره أيضاً ، إذا كانت قد مضى عليها حيضة بعد الحادث ، أو ذكرت
أنها تابت وندمت ، وأن هذا فعلته في حال سفهها وجهلها ثم تابت وندمت :
فإنه لا يضره ، ولا ينبغي أن يشيع ذلك ، بل ينبغي أن يستر عليها ، فإن غلب
على ظنه صدقها واستقامتها : أبقاها ، وإلا طلقها مع الستر ، وعدم إظهار ما
يسبب الفتنة والشرّ .
Jika istri mengaku bahwa keperawanannya hilang
BUKAN karena hubungan badan, maka suami tidak masalah mempertahankan
istrinya. Atau karena hubungan badan, namun sang istri mengaku dia
diperkosa atau dipaksa, maka suami tidak masalah mempertahankan
istrinya, jika istri sudah mengalami haid sekali setelah kejadian itu
sebelum dia menikah.
Atau dia mengaku telah bertaubat dan menyesali
perbuatannya, dan dia pernah melakukan zina ini ketika dia masih bodoh,
dan sekarang sudah bertaubat, tidak masalah bagi suami untuk
mempertahankannya. Dan tidak selayaknya hal itu disebar luaskan,
sebaliknya, selayaknya dirahasiakan. Jika suami yakin sang istri telah
jujur dan dia orang baik, bisa dia pertahankan. Jika tidak, suami bisa
menceraikannya dengan tetap merahasiakan apa yang dialami istrinya.
Tidak membeberkannya yang itu bisa menyebabkan terjadinya fitnah dan
keburukan.
Kedua, apabila sebelum menikah
suami mempersyaratkan istrinya harus perawan, ternyata setelah menikah
sang istri tidak perawan, maka pihak suami berhak untuk membatalkan
pernikahan.
Syaikhul Islam menjelaskan,
لو شرط أحد الزوجين في الآخر صفةً مقصودة ، كالمال ،
والجمال ، والبكارة ، ونحو ذلك : صح ذلك ، وملك المشترِط الفسخ عند فواته
في أصح الروايتين عن أحمد ، وأصح وجهي الشافعي ، وظاهر مذهب مالك
Apabila salah satu pasangan mengajukan syarat
berupa kriteria tertentu kepada calonnya, seperti suami berharta,
kecantikan, atau perawan atau semacamnya, maka syarat ini sah. Dan pihak
yang mengajukan syarat berhak membatalkan pernikahan ketika syarat itu
tidak terpenuhi, menurut riwayat yang lebih kuat dari Imam Ahmad dan
pendapat yang kuat dalam Madzhab Syafii, serta itulah yang kuat dari
pendapat Imam Malik. (Majmu’ Fatawa, 29/175).
Bagaimana dengan Mahar?
Jika pembatalan nikah ini sebelum terjadi hubungan
badan, maka mahar dikembalikan. Namun jika telah terjadi hubungan, ada
rincian:
Jika yang menipu pihak wanita, dia mengaku perawan padahal tidak perawan, maka dia wajib mengembalikan maharnya.
Jika yang menipu pihak wali, atau orang lain yang menjadi perantara baginya, maka dia yang bertanggung jawab mengembalikan maharnya.
Jika yang menipu pihak wali, atau orang lain yang menjadi perantara baginya, maka dia yang bertanggung jawab mengembalikan maharnya.
Ibnul Qoyim menjelaskan,
إذا اشترط السلامة ، أو شرط الجمال : فبانت شوهاء ،
أو شرطها شابة حديثة السن : فبانت عجوزاً شمطاء ، أو شرطها بيضاء : فبانت
سوداء ، أو بكراً : فبانت ثيِّباً : فله الفسخ في ذلك كله .
فإن كان قبل الدخول : فلا مهر لها ، وإن كان بعده :
فلها المهر ، وهو غُرم على وليِّها إن كان غرَّه ، وإن كانت هي الغارَّة
سقط مهرها
Jika pihak suami mengajukan syarat, harus sehat
tidak cacat, atau harus cantik, tapi ternyata jelek, atau harus masih
muda, tapi ternyata sudah tua keriputan, atau harus putih, tapi ternyata
hitam, atau harus perawan, tapi ternyata janda, maka pihak suami berhak
membatalkan pernikahan. Jika pembatalan terjadi sebelum hubungan badan,
istri tidak berhak mendapat mahar. Jika setelah hubungan, istri berhak
mendapat mahar. Sementara tanggungan mengembalikan mahar menjadi
tanggung jawab walinya, jika dia yang menipu suami. Namun jika istri
yang menipu, gugur hak mahar untuknya (Zadul Ma’ad, 5/163).
Ketiga, apabila sebelum menikah,
suami TIDAK mempersyaratkan istrinya harus perawan, maka dia tidak
memiliki hak untuk membatalkan akad.
Ibnul Qoyim menjelaskan kapan seorang suami berhak membatalkan akad nikah, jika sebelumnya dia tidak mempersyaratkan apapun.
رواية رويت عن عمر رضي الله عنه : لا ترد النساء
إلا من العيوب الأربعة : الجنون والجذام والبرص والداء في الفرج وهذه
الرواية لا نعلم لها إسنادا أكثر من أصبغ عن ابن وهب عن عمر… هذا كله إذا
أطلق الزوج
Satu riwayat dari Umar radhiyallahu ‘anhu:
Wanita tidak dikembalikan (ke ortunya) kecuali karena 4 jenis cacat:
gila, kusta, lepra, dan penyakit di kemaluan. Riwayat ini tidak saya
ketahui sanadnya selain dari Ashbagh, dari Ibnu Wahb, dari Umar…. aturan
ini berlaku jika pihak suami tidak mengajukan syarat apapun. (Zadul
Ma’ad, 5/163).
Imam Ibnu Utsaimin menjelaskan,
المعروف عند الفقهاء : أن الإنسان إذا تزوج امرأة
على أنها بكر ، ولم يشترط أن تكون بكراً : فإنه لا خيار له ؛ وذلك لأن
البكارة قد تزول بعبث المرأة بنفسها ، أو بقفزة قوية تُمَزِّق البكارة ، أو
بإكراه على زنا ، فما دام هذا الاحتمال وارداً : فإنه لا فسخ للرجل إذا
وجدها غير بكر. أما إذا اشترط أن تكون بكراً : فإن وجدها غير بكر : فله
الخيار
Yang makruf di kalangan ulama, bahwa ketika
seorang lelaki menikahi wanita yang dia anggap masih gadis, sementara
dia tidak mempersyaratkan harus gadis, maka pihak suami tidak memiliki
hak untuk membatalkan pernikahan. Karena kegadisannya bisa saja hilang
karena si wanita main-main dengan organ pribadinya, atau karena dia
melompat sehingga merobek keperawanannya, atau diperkosa. Selama semua
kemungkinan ini ada, pihak suami tidak berhak membatalkan pernikahan,
ketika dia menjumpai istrinya tidak perawan.
Namun jika pihak suami mempersyaratkan harus
perawan, kemudian ternyata istrinya tidak perawan, maka suami punya
pilihan untuk melanjutkan atau membatalkan nikah.
(Liqa’at Bab al-Maftuh, volume 67, no. 13).
Demikian pembahasan rincian hukumnya.
Hanya saja, kami menasehatkan, agar pihak suami
tetap mempertahankan istrinya dan merahasiakan apa yang dialami
istrinya, jika dia sudah benar-benar bertaubat dengan serius dan
istiqamah menjadi wanita yang sholihah.
Dan jika anda telah menerimanya, lupakan masa
silamnya, dan tidak diungkit lagi, terutama ketika terjadi pertengkaran
rumah tangga. Dalam hadis dinyatakan,
التَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ، كَمَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ
“Orang yang telah bertaubat dari perbuatan dosa, layaknya orang yang tidak memiliki dosa.” (HR. Ibnu Majah 4250, al-Baihaqi dalam al-Kubro 20561, dan dihasankan al-Albani).
Karena dia sudah bertaubat dengan serius, maka dia dianggap seperti orang yang tidak pernah melakukannya.
Sekalipun suami merasa sedih atau bahkan murka,
namun ingat, semuanya tidak akan disia-siakan oleh Allah. Kesabarannya
atas kesedihannya atau amarahnya akan menghapuskan dosanya.
Allahu a’lam.
0 comments:
Post a Comment